Kosong melompong. Di pintu kaca ruangan kantor itu masih tertempel stiker Energi slot 777 Kita berkelir biru dan hitam. Sejak dua tahun yang lalu, ruangan seluas 75 meter persegi di Lantai 28 gedung Graha Mandiri di Jalan Imam Bonjol No 61, Menteng, Jakarta Pusat, itu ditinggalkan penyewanya. Seorang petugas keamanan gedung mengatakan ruangan itu dulu disewa oleh PT Energi Kita Indonesia (EKI).
“PT EKI sudah nggak ada. Cuma, saya dengarnya dari dengar-dengar dari senior saya, ada masalah-masalah itu. Dulu pernah ada yang mengaku orang sini ngejebol dinding,” kata petugas yang identitasnya kami samarkan tersebut saat ditemui pada Selasa, 14 November 2023.
Direktur perusahaan ini, Satrio Wibowo, diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan 5 juta alat pelindung diri (APD) pada 2020. Kasus ini tengah ditangani penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sumber yang merupakan penegak hukum di KPK bercerita, mulanya PT EKI berupaya mendekati PT Permana Putra Mandiri (PPM) untuk mendapatkan proyek pengadaan APD dari Kementerian Kesehatan. Untuk memuluskan proyek ini, Satrio mengaku kepada Direktur PT PPM Ahmad Taufik sebagai staf Dewan Pertimbangan Presiden.
Padahal, berdasarkan penelusuran , nama Satrio tidak pernah terdaftar sebagai staf Wantimpres. Satrio hanya pernah terdaftar sebagai calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan pada Pemilu 2019. Namun, kata sumber ini, Taufik mempercayai pernyataan Satrio. Keduanya pun sepakat menjalin kerja sama.
Kerja sama ini membuahkan hasil. Pada 28 Maret 2020, Kemenkes menunjuk keduanya untuk menyediakan 5 juta APD. Penunjukan itu tertuang dalam Surat Pesan APD No. KK.02.91/1/460/2020. Dalam kontrak perjanjian, PT PPM berperan sebagai distributor yang hanya diperbolehkan membeli APD dari PT EKI. Sedangkan PT EKI ditunjuk sebagai penyedia.
Kesepakatan ini diambil setelah PT PPM menggelar dua kali rapat bersama perwakilan Kemenkes, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Lembaga Kebijakan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah. Rapat digelar pada 24 dan 26 Maret 2020. Dalam pertemuan yang digelar di lantai 15 gedung Graha BNPB, Jalan Pramuka Kaveling 38, Jakarta Timur, ini, disepakati harga USD 44 per APD atau setara dengan Rp 684 ribu dengan kurs Rp 15.560.
Dalam perjalanannya, mantan Kepala Pusat Krisis Kemenkes Budi Sylvana meminta negosiasi ulang harga pada 7 Mei 2020. Negosiasi itu menyepakati penurunan harga menjadi Rp 366.850 per APD untuk pengadaan sejak 28 April hingga 7 Mei 2020 sebanyak 503.500 APD. Dalam negosiasi ini pula, disepakati harga baru senilai Rp 294 ribu per APD. Ini untuk pengiriman sejuta APD, yang dimulai sejak 28 Maret 2020.
Tersangka Baru Korupsi Hazmat
Sampai akhir Mei 2020, Kemenkes telah menyerap sekitar 3,2 juta hazardous materials (hazmat) yang dibeli PT PPM dari PT EKI. Hazmat dengan jenama Boho produksi Korea Selatan adalah barang yang dipasok PT EKI. Atas pembelian barang ini, Kemenkes telah membayar Rp 616 miliar kepada PT PPM. Anggarannya berasal dari dana siap pakai (DSP) yang dimiliki BNPB. Saat itu, DSP yang tersedia Rp 3,03 triliun.
Sementara itu, 1,8 juta hazmat lainnya tidak terserap lantaran Kemenkes menghentikan proses pengadaannya dari PT EKI dan PT PPM. Penghentian dilakukan setelah Kemenkes menerima laporan BPKP terkait ketidakwajaran harga dalam pembelian APD yang dipasok PT PPM dan PT EKI, nilainya Rp 625 miliar. Ketidakwajaran harga ini tertuang dalam hasil audit BPKP Nomor 01 Gugus/PW/02/05/2020 pada 20 Mei 2020.
Audit ini juga menyebut kerja sama pengadaan APD Kemenkes bersama PT EKI dan PT PPM tidak sesuai dengan ketentuan. Alasannya, PT EKI tidak memiliki surat izin pengedar alat kesehatan. Perusahaan itu juga bukan termasuk pengusaha kena pajak. Di samping itu, auditor negara menemukan kejanggalan dalam dokumen pemberitahuan kepabeanan proses pengiriman produk. Plus, perjanjian kontrak antara PT PPM dan PT EKI juga dinyatakan bermasalah.
“Kontrak eksklusif PT EKI dengan PT PPM yang mengharuskan PT PPM hanya membeli APD dari PT EKI bertentangan dengan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha,” begitu temuan yang tertulis dalam dokumen BPKP.
Direktur Pengawasan Bidang Sosial dan Penanganan Bencana BPKP Wawan Yulianto membenarkan temuan dari hasil audit lembaganya tersebut. Wawan bilang saat itu BPKP ditugaskan menjaga akuntabilitas pengadaan sejumlah barang dan jasa yang berkaitan dengan penanganan COVID-19. Dalam proses pengawasan ini, kata Wawan, BPKP menemukan adanya ketidakwajaran pembelian APD seperti yang tertuang dalam hasil audit yang disebutkan di atas.
“Semua hasil pengawasan BPKP telah diserahkan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19,” tulis Wawan melalui pesan singkat kepada pada Selasa, 14 November 2023. Saat itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 diketuai oleh mantan Kepala BNPB Doni Monardo.